1. Pemberian Puyer atau Racikan (compounding) untuk Anak-anak dengan Gangguan Kesehatan Ringan Harian.
Puyer, selama ini dianggap sediaan obat yang umum digunakan terutama bagi anak-anak. Namun, kita tidak pertnah meneliti, berapa banyak obat dalam satu jenis puyer (padahal di dalam resep seringkali ada lebih dari satu puyer), apa saja jenisnya, fungsi masing-masing, interaksi satu sama lain dan proses pembuatannya.
Peresepan obat racikan membawa risiko dan berbagai dampak negatif bagi pasien dan petugas farmasi. Kontrol kualitas sangat sulit dilaksanakan dalam pembuatan puyer karena tingginya kemungkinan kesalahan manusia. Selain itu,stabilitas obat tertentu dapat menurun bila bentuk aslinya digerus, sedangkan toksisitas obat dapat meningkat. Salah satu contoh pengobatan tidak rasional adalah pemberian campuran berbagai obat yang diracik dan dijadikan “puyer” (obat bubuk) atau dimasukkan ke dalam kapsul atau sirup oleh petugas apotek (lazim disebut compounding). Pemberian puyer atau racikan (compounding) yang berisi beberapa obat sekaligus untuk anak-anak dengan gangguan kesehatan ringan harian seperti demam, batuk-pilek atau diare.
Polifarmasi beresiko memicu interaksi obat. Suatu analisis terhadap sejumlah resep untuk pasien anak-anak yang masuk di suatu apotek pada tahun 2005 menunjukkan bahwa 53% diantaranya merupakan pemberian obat secara polifarmasi (lebih dari 4 obat) dan 12% diantaranya memicu timbulnya interaksi obat yang tidak diinginkan. Peresepan obat puyer untuk anak di Indonesia sangat sering dilakukan karena beberapa faktor:
Puyer, selama ini dianggap sediaan obat yang umum digunakan terutama bagi anak-anak. Namun, kita tidak pertnah meneliti, berapa banyak obat dalam satu jenis puyer (padahal di dalam resep seringkali ada lebih dari satu puyer), apa saja jenisnya, fungsi masing-masing, interaksi satu sama lain dan proses pembuatannya.
Peresepan obat racikan membawa risiko dan berbagai dampak negatif bagi pasien dan petugas farmasi. Kontrol kualitas sangat sulit dilaksanakan dalam pembuatan puyer karena tingginya kemungkinan kesalahan manusia. Selain itu,stabilitas obat tertentu dapat menurun bila bentuk aslinya digerus, sedangkan toksisitas obat dapat meningkat. Salah satu contoh pengobatan tidak rasional adalah pemberian campuran berbagai obat yang diracik dan dijadikan “puyer” (obat bubuk) atau dimasukkan ke dalam kapsul atau sirup oleh petugas apotek (lazim disebut compounding). Pemberian puyer atau racikan (compounding) yang berisi beberapa obat sekaligus untuk anak-anak dengan gangguan kesehatan ringan harian seperti demam, batuk-pilek atau diare.
Polifarmasi beresiko memicu interaksi obat. Suatu analisis terhadap sejumlah resep untuk pasien anak-anak yang masuk di suatu apotek pada tahun 2005 menunjukkan bahwa 53% diantaranya merupakan pemberian obat secara polifarmasi (lebih dari 4 obat) dan 12% diantaranya memicu timbulnya interaksi obat yang tidak diinginkan. Peresepan obat puyer untuk anak di Indonesia sangat sering dilakukan karena beberapa faktor:
* Dosis obat dapat disesuaikan dengan berat badan anak secara lebih tepat
* Biayanya bisa ditekan menjadi lebih murah
* Obat yang diserahkan kepada pasien hanya satu macam, walaupun mengandung banyak komponen.
Kontroversi penggunaan puyer selama ini timbul karena kekawatiran bahwa puyer tidak steril, beresiko dosis tidak tepat, reaksi campuran bermacam-macam obat,tidak sesuai RUD (Rational Use of Drugs) dan tidak sesuai Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB). Sebenarnya kekawatiran tersebut bila dicermati adalah masalah human error dan kekawatiran itu bisa terjadi obat sediaan yang lain seperti sirup dan kaplet. Selama ini orangtua hanya mengkawatirkan puyer pada anaknya, namun tidak menyadari bahwa selama ini mereka kadang juga menjadi korban pelanggaran etika tersebut.
Seringkali mereka menolak pemberian resep puyer antibiotika dan obat berlebihan untuk anaknya. Tetapi saat orangtua sakit dan berobat ke dokter sering minta diberi obat antibiotika, batuk dan vitamin berbotol-botol hanya karena infeksi tenggorakan, dan batuk pilek biasa.
Hanya karena salah persepsi tentang puyer masyarakat tidak percaya lagi pada dokter di Indonesia. Karena selama ini sebagian besar dokter yang melayani kesehatan anak dan kesehatan kulit melakukan advis terapi puyer dan campuran obat lainnya. Bila dokter sudah tidak dipercaya, hal terburuk yang bisa terjadi adalah masyarakat akan mengobati sendiri penyakitnya. Fakta telah terjadi, gara-gara fobia terhadap puyer masyarakat takut ke dokter, dan akhirnya membeli obat batuk dan antibiotika sirup sendiri.
Seringkali mereka menolak pemberian resep puyer antibiotika dan obat berlebihan untuk anaknya. Tetapi saat orangtua sakit dan berobat ke dokter sering minta diberi obat antibiotika, batuk dan vitamin berbotol-botol hanya karena infeksi tenggorakan, dan batuk pilek biasa.
Hanya karena salah persepsi tentang puyer masyarakat tidak percaya lagi pada dokter di Indonesia. Karena selama ini sebagian besar dokter yang melayani kesehatan anak dan kesehatan kulit melakukan advis terapi puyer dan campuran obat lainnya. Bila dokter sudah tidak dipercaya, hal terburuk yang bisa terjadi adalah masyarakat akan mengobati sendiri penyakitnya. Fakta telah terjadi, gara-gara fobia terhadap puyer masyarakat takut ke dokter, dan akhirnya membeli obat batuk dan antibiotika sirup sendiri.
2. Melangsingkan Tubuh dengan Suntik
Tidak semua pelangsingan cara cepat mudah ditempuh. Banyak orang yang cenderung ingin mempunyai tubuh langsing dengan cara instan. Beberapa obat pelangsing yang digunakan bisa menimbulkan resiko kesehatan yang serius. Salah satunya obat pelangsing jenis suntik/ injeksi (intravena). Obat jenis ini umumnya ditujukan untuk menambah tingkat kecerahan pada kulit dan mengurangi kerutan-kerutan akibat proses penuaan. Obat injeksi yang digunakan pada umumnya mengandung vitamin C dosis tinggi (sekitar 1000 mg), ekstrak plasenta (dosis tinggi kolagen dan elastin), dan Tationil (gluthation atau suatu zat antioksidan). Vitamin C dosis tinggi ini jika diberikan kepada orang yang fungsi ginjalnya sudah menurun justru bisa menyebabkan gangguan ginjal serius.
Suntikan obat-obatan ini juga biasanya membuat penggunanya akan merasa penasaran untuk terus menerus menggunakannya hingga mencapai target tertentu. Jadi, terkadang tampak seperti ada efek adiksi (kecanduan). Berbeda dengan penggunaan obat yang bersifat CNS stimulant (perangsang saraf pusat), seperti amfetamin dan turunannya (metamfetamin, efedrin, fenilpropanolamin, dll).
Penggunaan obat ini bisa menimbulkan efek toleransi, yaitu kebutuhan akan dosis yang lebih tinggi untuk bisa mencapai efek sama, serta gejala putus obat (withdrawal effect) jika pemberiannya langsung dihentikan.
Suntikan obat-obatan ini juga biasanya membuat penggunanya akan merasa penasaran untuk terus menerus menggunakannya hingga mencapai target tertentu. Jadi, terkadang tampak seperti ada efek adiksi (kecanduan). Berbeda dengan penggunaan obat yang bersifat CNS stimulant (perangsang saraf pusat), seperti amfetamin dan turunannya (metamfetamin, efedrin, fenilpropanolamin, dll).
Penggunaan obat ini bisa menimbulkan efek toleransi, yaitu kebutuhan akan dosis yang lebih tinggi untuk bisa mencapai efek sama, serta gejala putus obat (withdrawal effect) jika pemberiannya langsung dihentikan.
Sayangnya lagi, tak banyak orang mau tahu lebih jauh soal obat pelangsing ini, sehingga mudah saja menggunakannya. Mereka baru terpikir untuk berhenti ketika sudah terlanjur merasakan dampak negatifnya. Agar tak salah memilih cara untuk melangsingkan tubuh, ketahui dulu semua informasinya sebelum terperosok ke dalam dampak buruknya.
Suntik vs Oral
Di antara sekian banyak jenis obat pelangsing yang beredar di pasaran, di antaranya menawarkan efek rasa kenyang dengan serat fiber, menghambat penyerapan lemak, memanipulasi enzim pencernaan, hingga menekan nafsu makan dari susunan syaraf pusat. Tak hanya dalam sediaan obat oral atau tablet saja, tapi juga dalam bentuk injeksi atau ampul.
Penggunaan obat-obatan jenis injeksi sudah barang tentu lebih mudah menimbulkan risiko ketimbang obat oral. Pertama, pemberian injeksi ke dalam sirkulasi darah (intravena) akan mengundang risiko infeksi jika alat suntik dan cara penyuntikannya tidak steril. Kedua, pemberian obat dengan dosis relatif tinggi langsung ke dalam intravena akan membebani organ vital seperti ginjal dan hati, yang merupakan organ utama dalam menetralisasi efek obat. Ketiga, ada referensi yang menyatakan, pemberian obat intravena lebih mudah menimbulkan efek samping alergi dibandingkan bila diberikan per oral.
Penggunaan obat-obatan jenis injeksi sudah barang tentu lebih mudah menimbulkan risiko ketimbang obat oral. Pertama, pemberian injeksi ke dalam sirkulasi darah (intravena) akan mengundang risiko infeksi jika alat suntik dan cara penyuntikannya tidak steril. Kedua, pemberian obat dengan dosis relatif tinggi langsung ke dalam intravena akan membebani organ vital seperti ginjal dan hati, yang merupakan organ utama dalam menetralisasi efek obat. Ketiga, ada referensi yang menyatakan, pemberian obat intravena lebih mudah menimbulkan efek samping alergi dibandingkan bila diberikan per oral.
Hal lainnya, jika didapati efek toksik atau efek samping segera setelah pemberian obat intravena, akan sangat sulit mengurangi kadar obat di dalam darah. Tidak seperti pada pemberian per oral, efek samping negatif dapat ditangani dengan cara merangsang muntah atau bilas lambung jika proses penelananmya masih kurang dari 2 jam.
Cara Kerja dan Efek Samping
Sejumlah obat pelangsing yang diberikan secara oral memang sudah diberi ijin edar oleh pemerintah secara resmi, di antaranya yang mengandung orlistat dan sibutramine. Sibutramine adalah sejenis bahan yang bekerja menekan nafsu makan dengan menghambat inaktivasi serotonin-norepinephrine di dalam otak. Kedua hormon ini dipercaya sebagai neurotransmitter yang berperan menghantarkan sinyal yang berhubungan dengan selera makan. Dengan demikian, orang yang mengonsumsi sibutramine beberapa saat sebelum makan, tidak akan makan secara berlebihan ketika tiba waktunya makan. Tidak disebutkan adanya adiksi terhadap obat ini, sehingga dianggap cukup aman untuk membantu memperbaiki pola makan seseorang.
Sedangkan orlistat, bekerja menghambat absorbsi lemak pada pencernaan. Bahan ini merupakan derifat lipstatin yang menghambat enzim lipase, yang diproduksi pankreas untuk mengurai lemak menjadi bentuk yang mudah diserap. Sehingga penyerapan lemak di usus sangat berkurang, dan banyak lemak ikut terbuang ke dalam feses. Lemak yang ikut keluar bersama feses ini menyebabkan konsistensi feses menjadi sangat lembek dan berminyak. Tak heran bila banyak pengguna orlistat mengeluhkan sulitnya menahan rasa ingin buang air besar (BAB). Selebihnya, obat ini tidak menimbulkan efek samping pada kesehatan secara menyeluruh.
Sedangkan orlistat, bekerja menghambat absorbsi lemak pada pencernaan. Bahan ini merupakan derifat lipstatin yang menghambat enzim lipase, yang diproduksi pankreas untuk mengurai lemak menjadi bentuk yang mudah diserap. Sehingga penyerapan lemak di usus sangat berkurang, dan banyak lemak ikut terbuang ke dalam feses. Lemak yang ikut keluar bersama feses ini menyebabkan konsistensi feses menjadi sangat lembek dan berminyak. Tak heran bila banyak pengguna orlistat mengeluhkan sulitnya menahan rasa ingin buang air besar (BAB). Selebihnya, obat ini tidak menimbulkan efek samping pada kesehatan secara menyeluruh.
Phenylpropanolamine (PPA) yang umum terkandung dalam obat dekongestan juga dapat digunakan untuk menekan nafsu makan. Dengan penggunaan sekitar 150 mg, propanolamine akan memberikan efek segar, waspada, dan mengurangi nafsu makan. Obat ini sifatnya merangsang sistem adrenergic yang bekerja meningkatkan tekanan darah dengan cara membuat vasokonstriksi pembuluh darah, meningkatkan frekuensi denyut jantung pada kekuatan kontraksi otot jantung, sehingga kerja jantung jadi lebih berat. Bagi penderita hipertensi dan berpenyakit jantung, dapat mengakibatkan stroke.
Di Amerika, obat flu dengan kandungan ini di atas 50 mg, dibatasi penggunaannya, karena terbukti sering disalahgunakan sebagai obat pelangsing. Lain lagi dengan obat pelangsing yang mengandung metamphetamine, yang merupakan bahan yang populer dan sering pula disalah gunakan (drug abuse). Sebenarnya amphetamine adalah obat yang digunakan untuk terapi anak dengan gangguan atensi-konsentrasi serta hiperaktif (ADHD). Selain itu, juga digunakan sebagai obat penghilang rasa kantuk pada kasus narkolepsi (gangguan tidur) dan sindroma keletihan kronik.
Di Amerika, obat flu dengan kandungan ini di atas 50 mg, dibatasi penggunaannya, karena terbukti sering disalahgunakan sebagai obat pelangsing. Lain lagi dengan obat pelangsing yang mengandung metamphetamine, yang merupakan bahan yang populer dan sering pula disalah gunakan (drug abuse). Sebenarnya amphetamine adalah obat yang digunakan untuk terapi anak dengan gangguan atensi-konsentrasi serta hiperaktif (ADHD). Selain itu, juga digunakan sebagai obat penghilang rasa kantuk pada kasus narkolepsi (gangguan tidur) dan sindroma keletihan kronik.
3. Penggunaan Alkohol (Etanol) dalam Obat
Alkohol (etanol) digunakan dalam suatu obat penurun panas. Sebagian kalangan mempersoalkan bahaya etanol (alkohol) dalam campuran obat tersebut. Mereka berpendapat etanol yang digunakan sebagai pelarut paracetamol - zat utama penurun panas, diperkirakan dapat menimbulkan bahaya bagi si bayi. Si mungil yang baru lahir belum memiliki sistem yang sempurna untuk memetabolisme alkohol sehingga cenderung menimbulkan kelainan syaraf nantinya. Pada saat itu memang hampir semua obat penurun panas, obat flu dan batuk yang berbentuk sirup mengandung etanol sebagai pelarut.
Alkohol ternyata bukan hanya dikandung obat penurun panas, banyak obat seperti sirup obat batuk, tonikum juga menyertakan alkohol dalam menu obatnya. Kini banyak pengguna obat di tanah air mulai mempersoalkan keberadaan alkohol bila hendak membeli obat, terutama konsumen yang beragama Islam yang mengharamkan alkohol. Walau ada yang berpendapat alkohol dalam campuran obat bukan minuman yang memabukkan namun cairan pelarut agar saja , tidak sedikit konsumen yang menjauhi penggunaan obat-obatan yang beralkohol tersebut.
Untunglah sebagian produsen obat di tanah air juga cukup bijak menyikapi hal ini. Banyak obat batuk dan vitamin di hari-hari terakhir ini telah melenyapkan alkohol dari isi campuran obatnya. Sebagai contoh tonikum bayer, kini telah bebas alkohol. Benadryl, Sanadryl - si sirup obat batuk kini telah mencampakkan alkohol dari campurannya. Hanya beberapa obat batuk saja yang masih menggunakan alcohol dalam obat batuk. Malah banyak pabrik mencantumkan kalimat Tidak Mengandung Alkohol pada wadah obatnya . Suatu cara promosi yang jitu agar obat tersebut tidak kehilangan konsumennya, terutama yang mengharamkan alkohol.
4. Pemakaian Antibiotic Terhadap Kasus Diare Akut
Kebiasaan untuk selalu memberi antibiotic dan anti-diare terhadap kasus-kasus diare akut, tanpa disertai pemberian campuran rehidrasi oral (Oralit) yang memadai, akan berdampak negatif terhadap upaya penurunan mortalitas diare.
Pemakaian Racecadotril ( acetorphan ) yang merupakan enkephalinace inhibitor dengan efek anti sekretorik serta anti diare ternyata cukup efektif dan aman bila diberikan pada anak dengan diare akut oleh karena tidak mengganggu motilitas usus sehingga penderita tidak kembung .Bila diberikan bersamaan dengan cairan rehidrasi oral akan memberikan hasil yang lebih baik bila dibandingkan dengan hanya memberikan cairan rehidrasi oral saja .Untuk pemakaian yang lebih luas masih memerlukan penelitian lebih lanjut yang bersifat multi senter dan melibatkan sampel yang lebih besar.
Pemakaian Racecadotril ( acetorphan ) yang merupakan enkephalinace inhibitor dengan efek anti sekretorik serta anti diare ternyata cukup efektif dan aman bila diberikan pada anak dengan diare akut oleh karena tidak mengganggu motilitas usus sehingga penderita tidak kembung .Bila diberikan bersamaan dengan cairan rehidrasi oral akan memberikan hasil yang lebih baik bila dibandingkan dengan hanya memberikan cairan rehidrasi oral saja .Untuk pemakaian yang lebih luas masih memerlukan penelitian lebih lanjut yang bersifat multi senter dan melibatkan sampel yang lebih besar.
Kemungkinan risiko efek samping obat dapat diperbesar oleh pemakaian obat yang tidak tepat. Ini dapat dilihat secara individual pada masing-masing pasien atau secara epidemiologik dalam populasi. Pemakaian obat yang berlebihan baik dalam jenis (multiple prescribing) maupun dosis (over prescribing) jelas akan meningkatkan risiko terjadinya efek samping. Pemakaian antibiotika secara berlebihan juga dikaitkan dengan meningkatnya resistensi kuman terhadap antibiotik yang bersangkutan dalam populasi (Levy, 1982). Ini mungkin merupakan contoh dampak efek samping yang kurang nyata pada seorang penderita tetapi jelas merupakan konsekuensi serius secara epidemiologik.
5. Pemakaian Tetrasiklin pada Kasus Faringitis Streptokokus
Pemakaian tetrasiklin pada kasus-kasus faringitis streptokokus (yang disebabkan oleh kuman Streptokokus beta-hemolitikus) akan berdampak negatif terhadap upaya pencegahan demam rematik oleh karena tetrasiklin bukan obat pilihan untuk faringitis streptokokus.Efek pemberian tetrasiklin pada pemberian lama atau berulang-ulang, kadang-kadang terjadi superinfeksi bakteri atau jamur seperti:enterokolitis dan kandidiasis.
Pemakaian obat-obatan tanpa indikasi yang jelas, untuk kondisi-kondisi yang sebetulnya tidak memerlukan terapi obat merupakan pemborosan, baik dari sisi pasien maupun sistem pelayanan. Dokter mungkin kurang memperhatikan dampak ekonomi ini, tetapi bagi pasien yang harus membayar atau bagi sistem pelayanan yang harus menanggung ongkos pengobatan, hal ini akan sangat terasa. Kebiasaan peresepan yang terlalu tergantung pada obat-obat paten yang mahal, jika ada alternatif obat generik dengan mutu dan keamanan yang sama, jelas merupakan beban dalam pembiayaan dan merupakan salah satu bentuk ketidak rasionalan.
0 Response to "Penggunaan Obat Pelangsing,Obat Diare Akut,Obat Penurun Panas Yang Tidak Rasional Terbaru 2016"
Post a Comment
Tambahkan Komentar Anda